BRITABARU.COM, JAKARTA – Lima advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon menilai bahwa kedua pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum mengenai kompetensi absolut pengadilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pertanahan yang bersertifikat.
Melansir laman resmi MKRI, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 10/PUU-XXIII/2025 yang digelar pada Senin (10/3/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta, Pemohon utama Bahrul Ilmi Yakup menegaskan bahwa ketidaktegasan norma dalam kewenangan PTUN dan Peradilan Umum telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain Bahrul Ilmi Yakup (Pemohon I) dan badan hukum privat AAK (Pemohon VI), Pemohon lainnya adalah Iwan Kurniawan (Pemohon II), Yuseva (Pemohon III), Rosalina Pertiwi Gultom (Pemohon IV), dan Bahrul Alwi (Pemohon V).
Sengketa Pertanahan dan Ketidakpastian Hukum
Pemohon menyampaikan bahwa sengketa tanah yang telah bersertifikat semestinya menjadi wewenang absolut PTUN, bukan Pengadilan Negeri (PN) sebagaimana yang saat ini diterapkan dalam sistem peradilan Indonesia. Hal ini berawal dari gugatan yang diajukan terhadap Kantor Pertanahan Kota Palembang terkait tanah milik PT Wahana Bara Sentosa. PTUN Palembang telah menyatakan perkara tersebut sebagai kewenangan PTUN dalam putusan tingkat pertama dan banding. Namun, dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung menyatakan bahwa perkara tersebut masuk dalam kompetensi Peradilan Umum.
Keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan perkara pertanahan sebagai kewenangan Pengadilan Negeri juga diperkuat dalam putusan Peninjauan Kembali (PK), yang berarti perkara tersebut harus diperiksa ulang dari awal di Pengadilan Negeri hingga melalui seluruh proses peradilan kembali. Pemohon berpendapat bahwa ketidaktegasan aturan ini telah menyebabkan inkonsistensi dalam praktik hukum.
Menurut Bahrul Ilmi, persoalan ini sudah menjadi isu klasik di Mahkamah Agung. Ia mengungkapkan bahwa sejak 2012, Mahkamah Agung dalam pertemuan nasionalnya telah memutuskan bahwa perkara pertanahan bersertifikat berada dalam kewenangan PTUN. Kemudian, pada 2020, Mahkamah Agung kembali menegaskan melalui Surat Edaran bahwa sengketa pertanahan bersertifikat adalah ranah PTUN. Namun, karena dasar hukum dalam Surat Edaran tersebut tidak cukup kuat, ketidakpastian hukum tetap terjadi di berbagai pengadilan.
Petitum Pemohon
Dalam permohonannya, para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 47 UU Peradilan TUN dan Pasal 50 UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon mengusulkan agar kedua pasal tersebut dimaknai kembali dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pasal 47 UU Peradilan Tata Usaha Negara seharusnya berbunyi: “PTUN mengemban wewenang absolut mengadili sengketa pertanahan bersertifikat.”
- Pasal 50 UU Peradilan Umum seharusnya berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pertanahan bersertifikat.”
Nasihat Hakim Konstitusi
Perkara ini disidangkan oleh Majelis Hakim Panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, didampingi oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Dalam persidangan, Hakim Konstitusi menilai bahwa permohonan ini belum mengelaborasi secara rinci pertentangan antara pasal-pasal yang diuji dengan pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
“Mengapa norma yang diuji itu bertentangan dengan pasal yang dijadikan dasar pengujian, ini belum ada di sini. Jika dipertahankan seperti ini, Mahkamah dapat menganggap permohonannya kabur,” ujar Saldi Isra.
Para Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan mereka. Berkas perbaikan harus diterima Mahkamah paling lambat pada Senin, 24 Maret 2025.
Dengan adanya uji materi ini, diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat memberikan kepastian hukum yang lebih jelas mengenai kompetensi absolut peradilan dalam menangani sengketa pertanahan yang telah bersertifikat, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan antara PTUN dan Pengadilan Negeri. (Redaksi)