BRITABARU.COM, BUNGO – Cantik sekali Pulau Cinto, tempat wisata yang ramai dikala hari libur masyarakat Bungo bahkan dari luar daerah hanya sekedar merasakan kesejukan alami air mengalir dari hulu sungai.
Apa daya, sudah hampir 2 tahun belakang jelas daya rusak semakin parah oleh mesin besi berlapis baja milik kaum serakah yang disebut exavator. Bergemuruh bunyi mesin meraung menghantam tanah dan sungai mencari kepingan emas di berbagai tepi sungai dan lahan.
Kami cari makan cik, istilah viral dikalangan pekerja. Kami cari kaya cik, pikiran pemegang modal dan kami cari sampingan cik istilah coklat dan hijau. Kami cari air bersih cik, sindir Cik Meng, masyarakat terdampak yang berani bersuara.
Rapat pemerintah berulang kali, razia dari penegak hukum ada, demo dan aksi protes sudah terjadi. Bukannya berhenti, semakin menjadi. Rasa takut hilang karena pelaku sudah merasa setor. Pemilik modal punya kawan melati dan bintang. Kelas pekerja merasa halal karena satu bulan cukup untuk biaya anak sekolah, makan dirumah dan jalan-jalan ke pasar tiap akhir pekan
Dimana letak masalahnya? Tidak semua oknum bermain, idealisme masih ada. Tidak semua aktiifis diam, berani ambil resiko menolak peti. Tapi faktanya para pelaku
semakin berani bahkan merambat ke area dekat objek vital daerah (bandara).
Semua beranalisa dan argumen. Kelompok idealisme berpendirian ini yang terlibat banyak, sistem aktif di lingkungan masyarakat. Kelompok realis berpendapat, potensi emas ini diberdayakan agar menunjang ekonomi. Kelompok apatis menilai tak ada yang bisa selesaikan masalah peti.
Tapi tiba-tiba, terdengar harapan dari sosok Bupati Baru. Dalam agenda sakral paripurna DPRD Bungo, 28 Mei 2025 Dedy Putra sampaikan pesan keras kepada Datuk Rio (kepala desa) mengenai PETI. Desa sungai telang khususnya, jadi mercusuar sukses atau tidaknya Bupati Dedy.
Political will, kunci dari permasalahan peti. Yang dimulai dari Bupati, Kapolres, Dandim dan jajaran forkompimda merupakan jurus jitu melawan sekaratnya alam Batang Bungo, Batang Tebo, Batang Pelepat.
Potensi sumber daya alam disuatu daerah berbanding lurus dengan meningkatnya putaran ekonomi. Namun pengelolaan potensi tersebut dapat pula menjadi bumerang dikala melanggar hukum.
Sebutlah potensi emas, tidak ada yang menampik banyak yang hidup melaluinya. Semua saat ini seakan normal dan menguntungkan. Ada yang lanjut sekolah karena emas, lanjut kuliah, ada menjadi modal nikah, bahkan sampai menjadi modal politik.
Sudut pandang ekonomi tidak salah, justru harus dipertahankan. Namun sudut ini tanpa dibatasi hukum, Bungo tidak hanya berpeluang menjadi kawasan bebas brutal gara-gara emas, tapi juga berpotensi merenggut kerugian materil dan immateril.
Kerugian materil kita kaji satu point saja dari sudut pandang pendapatan daerah. Sudah barang pasti potensi SDA emas tanpa izin tidak ada satu rupiah pun memberi kontribusi resmi ke pemerintah, namanya saja illegal. Semua diletakkan dalam instrumen gelap dan negatif, bahasa lapangan setor dibawah tangan. Yang legal saja potensi dimanipulasi apalagi ilegal sudah pasti lebih parah
Bagaimana kerugian immateril. Lingkungan rusak, potensi wisata bubar, kearifan lokal masyarakat adat pudar, narkoba merajela, hiburan malam menjadi gaya hidup. Bahasa populernya memudarkan sendi agama dan sosial. Ah ribut bae kau, yang penting duit kini tu ” sebut pemilik modal.
Roscoe Pound ahli hukum berdimensi sosial sudah mendeteksi daya rusak masyarakat tatkala tatanan sosial tidak dibatasi. Lahirlah konsep Law As A Tool Of Social Engineering, dimana hukum berperan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka mengatur lalu lintas hidup masyarakat.
Untuk itu instrumen penting dalam memberantas PETI adalah hukum. Akan tetapi pemaknaan hukum jangan dipersempit hanya dengan polisi, namun diperluas lebih komprehensif atas dasar pertimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial.
Praktik selama ini berantas PETI, lapor polisi. Personel polisi sedikit, titik PETI bisa jadi 3 kali lipat jumlah personel. Ditambah drama oknum membekingi, pupus harapan jika hanya berharap penindakan.
Hukum itu tidak hanya menindak, bisa juga mengayomi. Prinsip hukum sebagai alat kontrol dapat merekayasa dengan elegan permasalahan peti. Salah satunya melegalkan peti dalam bentuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) .
Bila kajian potensi emas memang signifikan dan realitanya hari ini sudah hasilkan putaran ekonomi bagi masyarakat maka perlu diwadahi secara legal. Tujuannya agar potensi Sumber Daya Alam tersebut termanfaatkan dengan maksimal dan kemudian menjaga lingkungan, tertib sosial dan menopang pendapatan daerah.
Disinilah letak kebijaksanaan Bupati Dedy mengambil sikap. Program jangka pendek, penindakan peti dalam skala besar (exavator) akan menunjukkan komitmen ketegasan Bupati, namun program jangka panjang atas pertimbangan ekonomi, lingkungan, tertib sosial dan pendapatan daerah terhadap potensi sumber daya alam menunjukkan komitmen Bupati sebagai rajo nan adil lagi bijaksana di “bumi langkah serentak limbai seayun”.
Penulis: Chris Januardi
- Wakil Ketua 1 PCNU Kab Bungo
- Mahasiswa S3 Hukum Universitas Jambi