BRITABARU.COM, BUNGO – Euforia perayaan Idul Fitri 2025 belum usai, namun petani karet di Kecamatan Jujuhan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, kembali harus menghadapi kenyataan pahit. Harga karet yang sempat menembus Rp15.000 per kilogram pada awal Ramadan, kini anjlok drastis menjadi hanya Rp10.000 per kilogram di tingkat petani.
Penurunan harga ini memicu keresahan mendalam di kalangan petani yang selama ini menggantungkan hidup sepenuhnya pada komoditas tersebut. Karet bukan sekadar hasil kebun, melainkan penopang utama ekonomi masyarakat Jujuhan selama puluhan tahun. Fluktuasi harga yang tajam dan tidak menentu kini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup mereka.
Harga Turun Tajam, Petani Terjepit
Munandar, seorang pengepul karet lokal, menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi ini. Ia menyebutkan bahwa harga karet langsung turun signifikan setelah Lebaran.
“Kami hanya sanggup membeli Rp10 ribu per kilo dari petani. Bahkan, kemungkinan masih bisa turun lagi karena harga internasional juga sedang merosot,” ungkap Munandar seperti mengutip dari Jambi Independent, Kamis (10/4/2025).
Ia juga menambahkan, kondisi ini membuat para petani berada di ujung tanduk. “Kami ingin harga bisa stabil dan naik seperti dulu. Tapi nyatanya malah terus menurun. Kasihan petani, mereka makin sulit hidup,” tambahnya.
Biaya Produksi Tak Tercover
Dengan harga jual yang semakin rendah, biaya operasional seperti upah penyadap, perawatan kebun, hingga pembelian bahan pendukung tak lagi sebanding. Situasi ini diperburuk oleh minimnya alternatif pendapatan lain di pedesaan.
Joni, seorang petani karet dari Desa Talang Silungko, bahkan mulai mempertimbangkan untuk beralih ke komoditas lain seperti sawit atau jagung. Namun, ia mengaku ragu karena keterbatasan modal dan risiko yang tinggi.
“Kalau terus begini, kami terpaksa cari pekerjaan lain. Tapi kan nggak mudah. Lahan sudah karet, dan belum tentu hasil tanaman lain lebih bagus,” ujarnya lirih.
Harapan pada Pemerintah: Stabilkan Harga, Buka Akses Pasar
Para petani berharap adanya intervensi dari pemerintah daerah maupun pusat. Mereka meminta adanya kebijakan harga dasar karet, pelatihan peningkatan mutu produksi, hingga pembukaan akses pasar baru yang bisa membantu mengangkat nilai jual karet rakyat.
“Kami ingin pemerintah turun tangan. Jangan dibiarkan kami terus tergantung harga pasar luar negeri. Harus ada solusi, entah subsidi, pelatihan, atau pembukaan akses ekspor langsung,” imbuh Joni.
Masa Depan Karet di Titik Kritis
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa komoditas karet, meski telah menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat desa selama puluhan tahun, tetap rapuh bila tidak mendapat dukungan kebijakan yang berpihak kepada petani.
Jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah, bukan tidak mungkin petani akan meninggalkan karet dan mencari alternatif yang lebih menguntungkan—meski dengan risiko tinggi.
“Kami butuh kepastian. Kalau tidak, siapa yang mau terus bertahan?” pungkas Joni. (Red)